animasi  bergerak gif
My Widget

Minggu, 26 April 2015

Informed consent



BAB I
PENDAHULUAN
1.1             Latar Belakang
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.  Atau Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negative.
Definisi operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk itu,Contoh sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed consent yang sah secara hukum.


1.2             Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian informed consent ?
2.      Apa komponen informed consent ?
3.      Apa tujuan informed consent ?
4.      Bagaimana bentuk informed consent ?
5.      Apa fungsi informed consent?
6.      Bagaimana ruang lingkup informed consent?
7.      Bagaimana unsur informed consent?
8.      Apa aspek hukum informed consent?
9.      Apa isi informed Consent?
10.  Bagaimana sanksi pada informed consent?












1.3             Tujuan
1.      Memahami pengertian informed consent.
2.      Mengetahui komponen-komponen informed consent.
3.      Mengetahui tujuan informed consent.
4.      Mengetahui bentuk informed consent.
5.      Memahami fungsi informed consent.
6.      Mengetahui ruang lingkup informen consent.
7.      Mengetahui unsur informed consent.
8.      Mengetahui aspek hukum informed consent
9.      Mengetahui isi informed consent.
10.  Memahami sanksi  pada informed consent.

1.4             Metode
Metode yang digunakan adalah browsing dan tinjauan pustaka.



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Informed Consent
Secara harfiah  Informed Consent  merupakan padanan kata dari: Informed artinya telah diberikan penjelasan/informasi ,dan  Consent  artinya persetetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut john M. echols dalam kamus inggris – Indonesia(2003), informed berarti telah diberitahukan, teleh disampaikan,telah diinformasikan.sedangkan consent berarti persetujuan yang yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Menurut  Jusuf  Hanifah (1999), informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. Dalam praktiknya, seringkali istilah informed consent disamakan dengan surat izin operasi (SIO) yang diberikan oleh tenaga kesehtan kepada keluarga sebelum seorang pasien dioperasi, dan dianggap sebagai persetujuan tertulis.  Akan tetapi, perlu diingatkan bahwa informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien, juga bukan sekedar tanda tangan keluarga, namun merupakan proses komuniksi. Inti dari informed consent  adalah kesepakatan antara tenaga kesehatan dan klien, sedangkan formulir hanya merupakan pendokumentasian hasil kesepakatan.


Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Persetujuan tindakan/informed consent adalah kesepakatan yang dibuat seorang klien untuk menerima rangkaian terapi atau prosedur setelah informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan fakta yang berkaitan dengan terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh karena itu, persetujuan tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter. Biasanya, klien menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi. Formulir itu adalah suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan tindakan itu sendiri.
Mendapatkan persetujuan tindakan untuk terapi medis dan bedah spesifik adalah tanggung jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini didelegasikan kepada perawat di beberapa institusi dan tidak terdapat hukum yang melarang perawat untuk menjadi bagian dalam proses pemberian informasi tersebut, praktik tersebut sangat tidak dianjurkan (Aiken dan Catalano, 1994, hlm. 104).

2.2 Komponen Informed Consent
1)   Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2)    Information elements
Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Elemen ini berdasarkan pemahaman yang kuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang kuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
·         Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria  informasi yang kuat  ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam       komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
·         Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
·         Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3)    Consent elements                                    
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya

2.3 Tujuan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan untuk:
a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
b) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.

2.4 Bentuk Informed Consent
Informed consent harus dilakukan setiap kali akan melakukan tindakan medis, sekecil apapun tindakan tersebut. Menurut depertemen kesehatan (2002), informed consent dibagi menjadi 2 bentuk :
            1. Implied consent
Yaitu persetujuan yang dinyatakan tidak langsung. Contohnya: saat bidan akan mengukur tekanan darah ibu, ia hanya mendekati si ibu dengan membawa sfingmomanometer tanpa mengatakan apapun dan si ibu langsung menggulung lengan bajunya (meskipun tidak mengatakan apapun, sikap ibu menunjukkan bahwa ia tidak keberatan terhadap tindakan yang akan dilakukan bidan).
            2. Express Consent
Express consent yaitu persetujuan yang dinyatakan dalam bentuk tulisan atau secara verbal. Sekalipun persetujuan secara tersirat dapat diberikan, namun sangat bijaksana bila persetujuan pasien dinyatakan dalam bentuk tertulis karena hal ini dapat menjadi bukti yang lebih kuat dimasa mendatang. Contoh, persetujuan untuk pelaksanaan sesar.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.   Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2.  Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3.   Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

2.5 Fungsi Informed Consent
  1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
  2. Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri
  3. Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care receiver = HCR)
  4. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
  5. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
  6. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
  7. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
  8. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
  9. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri.
2.6  Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah:
1.      Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan.
2.      Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas dasar informasi (Informed Consent).
1.      Hak atas rahasia medis
2.      Hak atas pendapat kedua (Second opinion)
3.      Hak untuk melihat rekam medik
4.      Hak perlindungan bagi orang yg tidak berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan remaja di bawah umur)
5.      Hak pasien dalam penelitian
Hak pasien membuat keputusan sendiri untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang lengkap, menghentikan partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan tentang sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.
  1. Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit
  2. Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
  3. Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
  4. Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
  5. Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
  6. Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
  7. Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
  8. Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
  9. Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya
  10. Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
  11. Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter


1.7 Unsur Informed Consent
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :
1.      Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
2.      Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
3.      Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

1.8 Aspek Hukum Informed Consent
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force ).
3. Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
-          Tindakan medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
-          Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).
Secara khusus, tentang informed consent ini diatur dalam SKPBIDI No.319/PB/A.4/88, surat keputusan tersebut berisi tentang “pernyataan dokter indonesia” tentang informed consent sebagai berikut:
1.                          manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri.
2.                          Oleh karena itu, semua tindakan medis (diagostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan IC secara lisan maupun tertulis.
3.                          Setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu mendapat informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikoyang berkaitan dengan IC.
4.                          Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.                          Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien baik diminta maupun tanpa diminta, menahan informasi tidak boleh kecuali dokter  menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini, dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
6.                          Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeotik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informasi IC) . informasi harus diberikan secara jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini, dokter dapat memberikan informasi yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
7.                          Dalam hal tindakan bedah (operasi) dan tindakan invasif lainnya, informsi harus diberikan oleh dokter yang bersangkutan sendiri. Untuk tindakan yang bukan bedah dan tindakan yang tidak invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat/dokter lain, sepengetahuan atau dengan petunjuk dokter yang merawat.
8.                          Perluasan operasi yang dapat diduga sebelum tindakan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya, bila perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan semua nyawa pasien pada waktu itu.
9.                          IC diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sehat rohaniah.
10.                      Untuk orang dewasa yang bearada dibawah pengampuan IC diberikan oleh orang tua/kurator/wali. Untuk yang dibawah umur dan tidak mempunyai orangtua/wali, IC diberikan oleh keluarga terdekat/induk semang (guardian).
11.                      Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan, serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan secara medis berada dalam keadaan gawat dan atau darurat memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan IC dari siapapun dan ini menjadi tanggung jawab dokter.
12.                      Dalam pemberian persetujuan, berdasarkan informasi untuk tindakan medis di rumah sakit atau klinik, maka rumah sakit atau klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.
2.9 Isi Informed Consent
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).

Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

2.10 Sanksi Hukum pada Informed Consent
1. Sanksi Pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP


2. Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
3. Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin praktik.




















BAB III
PENUTUP
3.1     Simpulan
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.

informed Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap sebagai penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan tindakan melanggar hukum namun demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.

3.2  Saran
Dalam Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan .

1 komentar:

  1. Casino City, New York - MapyRO
    See 10 제주 출장마사지 photos and 상주 출장안마 3 tips from 의정부 출장안마 711 안양 출장샵 visitors to Casino City, New York. "Located right on the edge of the Hudson 남원 출장안마 River, this 4-star hotel is an  Rating: 8.9/10 · ‎106 votes · ‎Price range: $$

    BalasHapus