BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Informed consent adalah suatu proses
yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang
akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent
dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak,
melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak
lain. Atau Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut. Tujuan Informed Consent adalah memberikan perlindungan kepada pasien
serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan
bersifat negative.
Definisi
operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya
Menurut
PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Dalam
hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan
satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam
masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk itu,Contoh
sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek
hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed
consent serta format informed consent yang sah secara hukum.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian informed consent ?
2. Apa
komponen informed consent ?
3. Apa
tujuan informed consent ?
4. Bagaimana
bentuk informed consent ?
5. Apa
fungsi informed consent?
6. Bagaimana
ruang lingkup informed consent?
7. Bagaimana
unsur informed consent?
8. Apa
aspek hukum informed consent?
9. Apa
isi informed Consent?
10. Bagaimana
sanksi pada informed consent?
1.3
Tujuan
1. Memahami
pengertian informed consent.
2. Mengetahui
komponen-komponen informed consent.
3. Mengetahui
tujuan informed consent.
4. Mengetahui
bentuk informed consent.
5. Memahami
fungsi informed consent.
6. Mengetahui
ruang lingkup informen consent.
7. Mengetahui
unsur informed consent.
8. Mengetahui
aspek hukum informed consent
9. Mengetahui
isi informed consent.
10. Memahami
sanksi pada informed consent.
1.4
Metode
Metode
yang digunakan adalah browsing dan tinjauan pustaka.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Informed Consent
Secara
harfiah Informed Consent merupakan padanan kata
dari: Informed artinya telah diberikan penjelasan/informasi ,dan
Consent artinya persetetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk
berbuat sesuatu.
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed”
yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan
“consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent”
mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta
resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut john M. echols dalam kamus
inggris – Indonesia(2003), informed berarti telah diberitahukan, teleh
disampaikan,telah diinformasikan.sedangkan consent berarti persetujuan yang
yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Menurut Jusuf
Hanifah (1999), informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien
kepada dokter setelah diberi penjelasan. Dalam praktiknya, seringkali istilah
informed consent disamakan dengan surat izin operasi (SIO) yang diberikan oleh
tenaga kesehtan kepada keluarga sebelum seorang pasien dioperasi, dan dianggap
sebagai persetujuan tertulis. Akan tetapi, perlu diingatkan bahwa
informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang didapat dari pasien,
juga bukan sekedar tanda tangan keluarga, namun merupakan proses komuniksi.
Inti dari informed consent adalah kesepakatan antara tenaga kesehatan dan
klien, sedangkan formulir hanya merupakan pendokumentasian hasil kesepakatan.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent”
dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang
akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai
informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Persetujuan tindakan/informed consent adalah kesepakatan
yang dibuat seorang klien untuk menerima rangkaian terapi atau prosedur setelah
informasi yang lengkap, termasuk risiko terapi dan fakta yang berkaitan dengan
terapi tersebut, telah diberikan oleh dokter. Oleh karena itu, persetujuan
tindakan adalah pertukaran antara klien dan dokter. Biasanya, klien
menandatangani formulir yang disediakan oleh institusi. Formulir itu adalah
suatu catatan mengenai persetujuan tindakan, bukan persetujuan tindakan itu
sendiri.
Mendapatkan persetujuan tindakan untuk terapi medis dan
bedah spesifik adalah tanggung jawab dokter. Meskipun tanggung jawab ini
didelegasikan kepada perawat di beberapa institusi dan tidak terdapat hukum
yang melarang perawat untuk menjadi bagian dalam proses pemberian informasi
tersebut, praktik tersebut sangat tidak dianjurkan (Aiken dan Catalano, 1994,
hlm. 104).
2.2 Komponen Informed Consent
1) Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat
dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu
pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia
untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinum, dari sama sekali
tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh diantaranya
terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu.
Secara hukum seseorang dianggap
cakap (kompeten) apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental
yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21
tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak
kompeten adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2) Information elements
Terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure
(pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Elemen ini berdasarkan
pemahaman yang kuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan
informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai
pemahaman yang kuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan
kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
·
Standar
Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi
dan kriteria informasi yang kuat ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam
komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada
kemungkinan kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial
setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial pasien.
·
Standar
Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan
atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi, sehingga informasi
yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan.
Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi profesional
medis memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
·
Standar
pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi
dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang
diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
3) Consent
elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian
yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan.
Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya
2.3 Tujuan Informed Consent
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa
tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan
untuk:
a) Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara
hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan
malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis,
serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya
b) Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana
tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta
akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap
“risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah
bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.
Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat
dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence)
atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan
dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
2.4 Bentuk Informed Consent
Informed consent harus dilakukan
setiap kali akan melakukan tindakan medis, sekecil apapun tindakan tersebut.
Menurut depertemen kesehatan (2002), informed consent dibagi menjadi 2 bentuk :
1. Implied consent
Yaitu persetujuan yang dinyatakan tidak langsung. Contohnya:
saat bidan akan mengukur tekanan darah ibu, ia hanya mendekati si ibu dengan
membawa sfingmomanometer tanpa mengatakan apapun dan si ibu langsung menggulung
lengan bajunya (meskipun tidak mengatakan apapun, sikap ibu menunjukkan bahwa
ia tidak keberatan terhadap tindakan yang akan dilakukan bidan).
2. Express Consent
Express consent yaitu persetujuan yang dinyatakan dalam
bentuk tulisan atau secara verbal. Sekalipun persetujuan secara tersirat dapat
diberikan, namun sangat bijaksana bila persetujuan pasien dinyatakan dalam
bentuk tertulis karena hal ini dapat menjadi bukti yang lebih kuat dimasa
mendatang. Contoh, persetujuan untuk pelaksanaan sesar.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa
tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter)
untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya
diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana
ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis,
setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang kuat tentang perlunya
tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed
consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk
tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang
diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan
pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa
tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui
tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2.5
Fungsi Informed Consent
- Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
- Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri
- Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan kesehatan (health care receiver = HCR)
- Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
- Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
- Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
- Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
- Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan
- Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk melakukan introspeksi terhadap diri sendiri.
2.6 Ruang Lingkup Informed Consent
Ruang lingkup dan materi informasi
yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika
memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang
berperan serta dalam pengobatan pasien.
Di Florida dinyatakan bahwa setiap
orang dewasa yang kompeten memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas
dirinya termasuk pelaksanaan dan penghentian pengobatan yang bersifat
memperpanjang nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak
memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam mempertimbangkan perlu
tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang berat, faktor emosional pasien
harus dipertimbangkan terutama kemungkinan bahwa pengungkapan tersebut dapat
mengancam kemungkinan pulihnya pasien.
Pasien memiliki hak atas informasi
tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam
pemberian inform consent adalah:
1. Hak atas informasi
Informasi yang diberikan meliputi
diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan,
kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk
mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya
pengobatan.
2. Hak atas persetujuan (Consent)
Consent merupakan suatu tindakan atau aksi
beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan
cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum
mampu memberikan consent. Kriteria consent yang syah yaitu
tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada
salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting,
penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya. Hak persetujuan atas
dasar informasi (Informed Consent).
1. Hak atas rahasia medis
2. Hak atas pendapat kedua (Second
opinion)
3. Hak untuk melihat rekam medik
4. Hak perlindungan bagi orang yg tidak
berdaya (lansia, gangguann mental, anak dan remaja di bawah umur)
5. Hak pasien dalam penelitian
Hak pasien membuat keputusan sendiri
untuk berpartisipasi, mendapatkan informasi yang lengkap, menghentikan
partisipasi dalam penelitian tanpa sangsi, bebas bahaya, percakapan tentang
sumber pribadi dan hak terhindar dari pelayanan orang yang tidak kompeten.
- Hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit
- Hak memperoleh pelayanan yg adil dan manusiawi
- Hak memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi
- Hak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yg berlaku di rumah sakit
- Hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yg jelas tentang penyakitnya
- Hak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis
- Hak menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya
- Hak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
- Hak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya
- Hak menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual
- Hak didampingi perawat atau keluarga pada saat diperiksa dokter
1.7
Unsur Informed Consent
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika
memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :
1. Keterbukaan informasi yang
cukup diberikan oleh dokter
2. Kompetensi pasien dalam
memberikan persetujuan
3. Kesukarelaan (tanpa paksaan
atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
1.8
Aspek Hukum Informed Consent
Menurut PerMenKes no
290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan
Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No.
319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada
pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai
saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan
pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek
hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan
medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun
oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent”
dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI
(Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan
diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis,
masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan
kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya
secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium
“barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum
pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata).
Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis
belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan
medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya
persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien
dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas
tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed
consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya
pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa
tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar
dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter,
atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang
dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi
sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk
ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap,
sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum
yang berkenaan dengan informed consent ini.
Informed Consent hakikatnya adalah
hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan
dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan
perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan
Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat 4 syarat sahnya
suatu perjanjian yaitu:
1. Adanya kesepakatan antar pihak,
bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2. Para pihak cakap untuk membuat
perikatan.
3. Adanya suatu sebab yang halal,
yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh peraturan perundang undangan serta
merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.
Dari syarat pertama yaitu adanya
kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas kesehatan dan pasien ), maka
berarti harus ada informasi keluhan pasien yang cukup dari kedua belah pihak
tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat informasi keluhan pasien
sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus memperoleh diagnosis dan
terapi yang akan dilakukan.
Ada beberapa kaidah yang harus
diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed Consent agar hukum
perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1. Tidak bersifat memperdaya (
Fraud ).
2. Tidak berupaya menekan ( Force
).
3. Tidak menciptakan ketakutan (
Fear ).
Persetujuan yang ditanda tangani
oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak membebaskan dokter dari
tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
-
Tindakan medis yang dilakukan tanpa
persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat digolongkan sebagai
tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
-
Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin
pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan
KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily assault ).
Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 /
Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan
atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan
( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara
tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).
Secara khusus, tentang informed
consent ini diatur dalam SKPBIDI No.319/PB/A.4/88, surat keputusan tersebut
berisi tentang “pernyataan dokter indonesia” tentang informed consent sebagai
berikut:
1.
manusia dewasa dan sehat rohani berhak
sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak
berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien,
walaupun untuk kepentingan pasien itu sendiri.
2.
Oleh karena itu, semua tindakan medis
(diagostik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan IC secara lisan maupun
tertulis.
3.
Setiap tindakan medis yang mengandung
resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang
ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnya pasien itu mendapat informasi
yang kuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikoyang
berkaitan dengan IC.
4.
Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam
butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.
Informasi tentang tindakan medis harus
diberikan kepada pasien baik diminta maupun tanpa diminta, menahan informasi
tidak boleh kecuali dokter menilai bahwa
informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini,
dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien, kehadiran
seorang perawat/paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
6.
Isi informasi mencakup keuntungan dan
kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeotik maupun
paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara
tertulis (berkaitan dengan informasi IC) . informasi harus diberikan secara
jujur dan benar, terkecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini, dokter dapat memberikan informasi
yang benar itu kepada keluarga terdekat pasien.
7.
Dalam hal tindakan bedah (operasi) dan
tindakan invasif lainnya, informsi harus diberikan oleh dokter yang
bersangkutan sendiri. Untuk tindakan yang bukan bedah dan tindakan yang tidak
invasif, informasi dapat diberikan oleh perawat/dokter lain, sepengetahuan atau
dengan petunjuk dokter yang merawat.
8.
Perluasan operasi yang dapat diduga
sebelum tindakan, tidak boleh dilakukan tanpa informasi sebelumnya kepada
keluarga yang terdekat atau yang menunggu. Perluasan yang tidak dapat diduga
sebelum tindakan dilakukan, boleh dilaksanakan tanpa informasi sebelumnya, bila
perluasan operasi tersebut perlu untuk menyelamatkan semua nyawa pasien pada
waktu itu.
9.
IC diberikan oleh pasien dewasa yang
berada dalam keadaan sehat rohaniah.
10.
Untuk orang dewasa yang bearada dibawah
pengampuan IC diberikan oleh orang tua/kurator/wali. Untuk yang dibawah umur
dan tidak mempunyai orangtua/wali, IC diberikan oleh keluarga terdekat/induk
semang (guardian).
11.
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan,
serta tidak didampingi oleh yang tersebut dalam butir 10, dan yang dinyatakan
secara medis berada dalam keadaan gawat dan atau darurat memerlukan tindakan
medis segera untuk kepentingan pasien, tidak diperlukan IC dari siapapun dan
ini menjadi tanggung jawab dokter.
12.
Dalam pemberian persetujuan, berdasarkan
informasi untuk tindakan medis di rumah sakit atau klinik, maka rumah sakit
atau klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab.
2.9
Isi Informed Consent
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan
informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta atau tidak diminta,
jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan,
tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit pasien. Tindakan apa
yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik
diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang
akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara umum dapat dikatakan bahwa
semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien yang harus
diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien dapat
berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk
tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul
perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan
tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit
yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan diberikan /
diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya
komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan
ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan /
pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila
pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan
yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau menyimpang dari kebiasaan,
bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter juga perlu menyampaikan
(meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam melakukan
tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum
suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang
akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan
tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak
dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut
tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada
pasien yang dimintakan persetujuan tindakan kedokteran :
1. Resiko yang melekat pada
tindakan kedokteran tersebut.
2. Resiko yang tidak bisa
diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi
kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan melakukan tindakan
juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 / Menkes /
PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat
2).
Pengecualian terhadap keharusan
pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah:
1. Dalam keadaan gawat darurat
(emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa.
2. Keadaan emosi pasien yang sangat
labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
Ini tercantum dalam PerMenKes no
290/Menkes/Per/III/2008.
2.10
Sanksi Hukum pada Informed Consent
1. Sanksi Pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan
menorehkan benda tajam tanpa persetujuan pasien dipersamakan dengan adanya
penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351 KUHP
2. Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana
kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat digugat dengan 1365, 1367, 1370,
1371 KUHPer
3. Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan
tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan izin praktik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Di
Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed
consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004.
informed
Consent yang diperoleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap
sebagai penemu hak otonomi pasien, sehingga tindakan tersebut merupakan
tindakan melanggar hukum namun demikian pelaksanaan informed Consennt di
indonesia hanya dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dalam budaya setempat
yang sangat bervariasi.
3.2 Saran
Dalam
Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita
dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah dalam hal ini Pemerintah
Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, menyelenggarakan dan membina Serta
mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
masayarakat. Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi
seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
terhadap Informed Consent agar kelak tidak terjadi perselisihan .
Casino City, New York - MapyRO
BalasHapusSee 10 제주 출장마사지 photos and 상주 출장안마 3 tips from 의정부 출장안마 711 안양 출장샵 visitors to Casino City, New York. "Located right on the edge of the Hudson 남원 출장안마 River, this 4-star hotel is an Rating: 8.9/10 · 106 votes · Price range: $$